SELAMAT DATANG DI DESA KUBUTAMBAHAN KECAMATAN KUBUTAMBAHAN. KABUPATEN BULELENG.

Senin, 17 Oktober 2011

Usaha Pengolahan


Dari hasil produksi hasil perikanan pada umumnya dipasarkan dalam keadaan segar sedangkan sebaliknya terlebih dahulu diolah untuk diverifikasi usaha penambahan nilai, disamping pertumbuhan transportasi dan distribusi. Komposisi pengolahan hasil perikanan antara lain : pengasinan, pindang asap, abon, krupuk dan beberapa pengolahan sudang lepet dan bakso. Usaha pengolahan hasil-hasil perikanan masih dilakukan dengan skala usaha kecil bermukim dan tersebar di sepanjang Pantai Buleleng, bahkan usaha-usaha pengolahan siap saji juga berkembang seperti ikan bakar/panggang, sate dan lain-lain. Adapun sentra pengolahan ikan di Kabupaten Buleleng terletak di Desa Pengastulan, Sangsit, Pacung, dan Bondalem. Total Produksi ikan Pindang tahun 2008 sebesar 1.810,9 ton, pemasaran masih di Kabupaten Buleleng, Bangli, dan Denpasar.
Total investasi di bidang usaha pengolahan / pasca sektor perikanan dan kelautan sampai tahun 2008 adalah kurang lebih Rp 4..000.000.000 (empat milyar rupiah) yang terdiri dari pembuatan bangsal pengolahan ikan di Pacung, Bondalem di Kecamatan Tejakula dan di Pengastulan, Kecamatan Seririt, Pasar Benih Ikan Sanggalangit Kecamatan Gerokgak serta Pasar Ikan Tradisional yang ada di Desa Anturan dan Pasar Ikan Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan serta pengadaan sarana dan prasarana pengolahan hasil-hasil perikanan.

Pura Meduwe Karang, sebuah pura dengan relief unik di Bali


Terletak di Desa Kubutambahanm, Kecamatan Kubutambahan ± 12 km sebelah timur Kota Singaraja, kurang lebih 1 km dari pertigaan Singaraja, Kubutambahan dan Kintamani. Pura ini tempat memohon agar tanaman di tegalan bias berhasil dan baik. Gugusan tangga mengantarkan pengunjung ke suatu areal luar pura (Jabaan) yang luas yang di bagian depannya dihiasi patung-patung batu padas, 34 jumlahnya, yang diambil dari tokoh-tokoh dan adegan-adegan ceritera Ramayana.
Lingkungan Pura Maduwe Karang adalah salah satu lingkungan Pura di Bali yang telah dikenal wisatawan mancanegara sebelum Perang Dunia Kedua. Di Jaman itu wisatawan mancanegara datang ke Bali melalui laut di Pelabuhan Buleleng. Di tempat ini sambil menunggu angkutan umum para wisatawan mempergunakan waktu untuk mengunjungi Lingkungan Pura Beji di Desa Sangsit, Lingkungan Pura Maduwe Karang di Desa Kubutambahan.Lingkungan Pura ini terdiri dari tiga tingkat yaitu Jaba Pura di luar lingkungan pura atau Jabaan, Jaba Tengah, dan Jeroan, bagian paling dalam adalah yang paling disucikan. Dua buah tangga batu menanjak menuju Jaba Pura, yang di bagian depannya dihiasi patung-patung batu padas, tiga puluh empat jumlahnya, yang diambil dari tokoh-tokoh dan adegan-adegan ceritera Ramayana.
Patung yang berdiri di tengah-tengah memperlihatkan Kumbakarna yang sedang berkelahi dan dikeroyok oleh kera-kera laskar Sang Sugriwa. Yang unik, pada bagian dinding di sebelah utara terdapat ukiran relief orang naik sepeda yang roda belakangnya terdapat daun bunga tunjung. Daya tarik lain adalah pahatan Durga dalam manifestasinya sebagai Rangda, dalam posisi duduk dengan kedua lututnya terbuka lebar sehingga alat kelaminnya jelas kelihatan. Tangan kanannya diletakkan di atas kepala seorang anak kecil yang berdiri di sebelah lututnya, kaki kanannya diletakkan di atas binatang bertanduk yang sedang berbaring. Pada bagian lain dari dinding lingkungan pura ini terdapat pahatan seorang penunggang kuda terbang dan pahatan Astimuka. Tokoh ini dilukiskan sama dengan Sang Hyang Gana (Ganesha), yakni dewa dengan muka gajah. Kungkungan Pura Maduwe Karang ini terletak di Desa Kubutambahan, 12 km sebelah Timur Singaraja.
Yang unik, pada bagian bawah dinding disebelah utara terdapat ukiran relief orang naik sepeda yang roda belakangnya terbuat dari daun bunga teratai.
Berdasarkan asal usul sejarah Pura Meduwe Karang, yang bersumber dari hasil studi dan penelitian sejarah Pura-Pura di Bali tahun 1981/1982 oleh pemerintah daerah Bali yang bekerjasama dengan Institut Hindhu Dharma (IHD) Denpasar, Pura Maduwe Karang, di bangun pada abad ke 19 Masehi, tepatnya pada tahun 1890 oleh para migrasi local, yang berasal dari Desa Bulian, sebuah Desa Bali Kuno, ke lokasi Desa Kubutambahan.
Sesuai dengan istilah yang dipergunakan , disebut Pura Maduwe Karang berarti yang memilikim Karang (memiliki lahan, yang berupa tanah tegalan) di Desa Kubutambahan, permukiman Baru migrant asal  desa Bulian. Sehingga dengan demikian , Pura Maduwe Karang berstatus dan berkedudukan sebagai Pura perlak (Pura subak abian) yang diempon , diemong, disungsung dan disiwi oleh karma Subak Kubutambahan yang asal-usulnya berasal dari imigran petani desa Bulian. Dengan kata lain Pura Maduwe Karang